PERNIKAHAN, TALAK DAN RUJUK DALAM ISLAM
“Pernikahan Dalam Islam”
1. Definisi Pernikahan
Pernikahan adalah terjemahan yang diambil dari bahasa Arab yaitu nakaha dan
zawaja. Kedua kata inilah yang menjadi istilah pokok yang digunakan al-Qur’an
untuk menunjuk perkawinan (pernikahan). Istilah atau kata zawaja berarti
‘pasangan’, dan istilah nakaha berarti ‘berhimpun’. Dengan demikian, dari sisi
bahasa perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan
berdiri sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra.
Nikah
menurut syara’ adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan
tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya serta membentuk sebuah rumah
tangga yang sakinah.
Adapun beberapa dasar hukum tentang pernikahan adalah
sebagai berikut:
§
Al-Qur’an
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar-Ruum (30):21).
§
As-Sunnah
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda:
” Tiga kelompok yang berhak mendapat pertolongan Allah.
Mujahid di jalan Allah, budak yang ingin merdeka, orang yang menikah yang ingin
menjaga kesucian (dari zina)” (HR at-Turmudzi)
2. Hukum Pernikahan
Hukum
menikah dalam pandangan syariah. Para ulama ketika membahas hukum pernikahan,
menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah, terkadang
bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan
dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang
haram untuk dilakukan.
Semua
akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya.
Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.
Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan
juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga
diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara
menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang
zina wajib hukumnya.
Imam
Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya
seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa
resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan
membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
“Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan
menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi.” (QS.An-Nur : 33)
Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah
mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena
memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan
kondusif.
Orang
yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak
sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa
jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila
dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan
dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan
anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam
jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR.
Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah
sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk
menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan
hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon
istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak
akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan
menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus
ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan
seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya
haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap
menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada
lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita
muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga
menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram
dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa
iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti
pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali
atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi
nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang
yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk
berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela
dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi
mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab
idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi
tanggung jawab pihak suami.
Maka
pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita.
Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri
kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang
yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong
keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka
bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera
menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
3. Rukun Pernikahan
Rukun
dalam pernikahan yaitu:
§
Ijab
yaitu
ucapan penyerahan calon mempelai wanita dari walinya atau wakilnya kepada calon
mempelai pria untuk dinikahi. Misalnya: “Saya nikahkan kamu dengan Fulanah”.
§
Qabul
yaitu
ucapan penerimaan pernikahan dari calon mempelai pria / walinya.
§
Calon
mempelai pria dan wanita
Calon
pengantin harus terbebas dari penghalang-penghalang sahnya nikah, misalnya:
wanita tersebut bukan termasuk orang yang diharamkan untuk dinikahi (mahram)
baik karena senasab, sepersusuan atau karena sedang dalam masa ‘iddah, atau
sebab lain. Juga tidak boleh jika calon mempelai laki-lakinya kafir sedangkan
mempelai wanita seorang muslimah. Dan sebab-sebab lain dari
penghalang-penghalang syar’i.
§
Wali
dari calon mempelai wanita
Wali
bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh bapaknya,
kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang laki-laki
kemudian cucu laki-laki dari anak laki-lakinya terus ke bawah, lalu saudara
laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak, kemudian keponakan
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya yang
sekandung dengan bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya,
kemudian anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya
seperti ahli waris, kemudian orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang
budak), kemudian baru hakim sebagai walinya
Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam:
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR.
Imam).
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali
maka nikahnya tidak sah. Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab
terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal dalam berfikir untuk memilih
sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam
Al-Qur’an tentang masalah pernikahan, ditujukan kepada para wali:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu”
(QS. An-Nuur: 32)
“Maka janganlah kamu(para wali) menghalangi mereka” (QS.
Al-Baqoroh: 232)
Dua orang saksi (laki-laki)
Sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir:
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang
saksi yang adil (baik agamanya).” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah)
4. Sunnah Pernikahan
§
Do’a
dan ucapan selamat untuk pengantin
Disunnahkan bagi setiap muslim untuk memberikanucapan
selamat dan do’a kepada pengantin. Sebagaimana hadistRasulullah SAW. dari Abu
Hurairah r.a. ia berkata “Jika Nabi,SAW. memberikan ucapan selamat kepada
mempelai, beliauSAW. mengucapkan:
“Barakallahu laka wabaaraka ‘alaika wajama’a baynakuma fii
khair”.
“Semoga Allah mencurahkan kepadamu dan istrimu. Semoga Allah
menyatukan kamu berdua dalam segala kebaikan.” (HR. Bukhari, Muslim).
§
Mengucapkan
Salam ketika hendak masuk ke tempat isteri dengan mendahulukan kaki kanan
Rasulullah SAW. bersabda kepada shahabat Anas binMalik r.a.
“Wahai anakku, jika engkau masuk ke tempat isterimu,
hendaknya engkau mengucapkan salam kepadanya,agar menjadikan keberkahan bagimu
dan bagi penghunirumahmu.” (H.R. At-Tirmidzi).
§
Do’a
ketika mengusap dan meletakkan tangan pada ubun-ubun isteri
Disunnahkan pula untuk mengusap dan meletakkan tanganpada
ubun-ubun isteri seraya membaca basmallah dankemudian berdo’a memohon
keberkahan:
“Allahumma inni astaluka wakhairiha jabaltaha ‘alaihi wa
a’udzubika min syarrihha wamin syarrimma jabaltaha ‘alaihi”.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikandan
kebaikan yang telah Engkau ciptakan padanya dan akuberlindung kepada-Mu dari
kejahatan dan kejahatan yang Engkau ciptakan padanya”.
§
Shalat
sunnah setelah akad nikah
§
Tinggal
seminggu di rumah mempelai wanita
5. Tujuan Pernikahan
Tujuan dari pernikahan:
§
Ittiba’(mengikuti)
Sunnah Rasul
§
Melaksanakan
ibadah
§
Untuk
preventif terhadap zina
§
Melestarikan
keturunan suci (kesinambungan eksistensi manusia)
§
Membangun
sifat kasih sayang sejati
§
Mewujudkan
sifat ta’awun (tanggung jawab/tolong-menolong)
§
Memperkokoh
silaturahmi baik internal keluarga maupun eksternal masyarakat.
6. Hak & Kewajiban Suami kepada Istri
§
Suami
hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama.
(At-aubah: 24)
§
Seorang
istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya.
(At-Taghabun: 14)
§
Hendaknya
senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan: 74)
§
Diantara
kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan,
pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri
lebih dari satu. (AI-Ghazali)
§
Jika
istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara
berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan
yang tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri
kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah.
§
Orang
mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan
paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
§
Suami
tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan
anaknya.(Ath-Thalaq: 7)
§
Suami
dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
§
Hendaklah
jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya terkadang
menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi, Umar
bin Khattab ra., Hasan Bashri)
§
Suami
hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la)
§
Suami
wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang,
tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)
§
Suami
wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak
memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam
rumah sendiri. (Abu Dawud).
§
Suami
wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan
menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34,
At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih)
§
Suami
wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum
haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)
§
Suami
wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)
§
Suami
tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)
§
Apabila
istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib mendidiknya
dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)
§
Jika
suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada
istrinya. (AI-Baqarah: 40)
Istri kepada Suami
§
Hendaknya
istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah
pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)
§
Hendaknya
istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada
istri. (Al-Baqarah: 228)
§
Istri
wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39)
§
Diantara
kewajiban istri terhadap suaminya, ialah: a. Menyerahkan dirinya, b. Mentaati
suami, c. Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya, d. Tinggal di tempat
kediaman yang disediakan suami, e. Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)
§
Istri
hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam
kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)
§
Apabila
seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang
istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami
meridhainya. (Muslim)
§
Istri
hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni
dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang
tuanya. (Tirmidzi)
§
Yang
sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam
keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, Tirmidzi)
§
Kepentingan
istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: “Seandainya
dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud
kepada suaminya. .. (Timidzi)
§
Istri
wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)
§
Istri
hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami(Thabrani)
§
Istri
wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat
suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)
§
Ada
empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta
(3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)
§
Wanita
Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan
sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)
§
Wanita
dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga
kemaluannya. (An-Nur: 30-31)
7. Wanita Yang Haram Dinikahi
Larangan menikah untuk selamanya (muabbad)
Dibagi menjadi beberapa:
1. Larangan karena ada hubungan nasab ( qoroobah )
Yaitu:
§ I b u
§ Anak perempuan
§ Saudara perempuan
§ Bibi dari fihak ayah ( ‘Aammah )
§ Bibi dari fihak ibu ( khoolah )
§ Anak perempuan dari saudara
laki-laki ( keponakan )
§ Anak perempuan dari saudara
perempuan ( keponakan )
2. Larangan karena ada hubungan perkawinan ( mushooharoh )
Yaitu:
§ Ibu dari istri ( mertua )
§ Anak perempuan dari istri yang
sudah digauli atau anak tiri, termasuk anak-anak mereka kebawah
§ Istri anak ( menantu ) atau istri
cucu dan seterusnya
§ Istri ayah ( ibu tiri )
3. Larangan karena hubungan susuan
§ Ibu dari wanita yang menyusui
§ Wanita yang menyusui
§ Ibu dari suami wanita yang menyusui
§ Saudara wanita dari wanita yang
menyusui
§ Saudara wanita dari suami wanita
yang menyusui
§ Anak dan cucu wanita dari wanita
yang menyusui
§ Saudara wanita, baik saudara
kandung, seayah atau seibu
Larangan menikah untuk sementara (muaqqot)
1. Menggabungkan untuk menikahi dua wanita yang bersaudara
2. Menggabungkan untuk menikahi seorang wanita dan bibinya
3. Menikahi lebih dari empat wanita
4. Wanita musyrik
5. Wanita yang bersuami
6. Wanita yang masih dalam masa ‘iddah
7. Wanita yang ia thalak tiga
Pernikahan yang terlarang
1. Nikah dengan niat untuk men-thalaqnya.
2. Nikah Tahlil, yaitu nikahnya seorang laki-laki dengan
seorang wanita yang telah diceraikan suaminya tiga kali, dengan niat untuk
menceraikannya kembali agar dapat dinikahi oleh mantan suaminya.
3. Nikah dengan bekas istri yang telah dithalak tiga.
4. Nikahnya seorang yang sedang ber-Ihrom.
5. Nikahnya seorang yang dalam masa ‘iddah.
6. Nikahnya seorang muslim dengan orang kafir.
“Talak
dan Gugat Cerai
dalam
Islam”
1.
DEFINISI CERAI TALAK
Dalam syariah cerai atau talak adalah melepaskan ikatan perkawinan (Arab, اسم لحلقيد النكاح) atau putusnya hubungan
perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.
2.
DALIL DASAR HUKUM PERCERAIAN TALAK
-
QS Al-Baqarah 2:229
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّلَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَاحُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَاافْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِفَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya:
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah
orang-orang yang zalim.
-
QS At-Talaq 65:1-7
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَوَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلاَّ أَنيَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِفَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لاَ تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا*
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍوَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِمَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُمَخْرَجًا*
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُإِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا*
وَاللاَّئِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللاَّئِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنيَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا*
ذَلِكَ أَمْرُ اللَّهِ أَنزَلَهُ إِلَيْكُمْ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِوَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا*
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواعَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّفَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِنتَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى*
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُاللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Artinya:
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar
kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah
dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(ayat 1)
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan
baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar.(ayat 2)
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.(ayat 3)
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (ayat 4)
Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan
melipat gandakan pahala baginya. (ayat 5)
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya,
dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya.(ayat 6)
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan.(ayat 7)
3. SHIGHAT (UCAPAN) CERAI TALAK ADA DUA
Ditinjau dari segi shighat, lafadz, ucapan cerai talak dari seorang suami pada
istri, talak ada dua macam yaitu talak sharih (langsung, jelas, eksplisit) dan
talak kinayah (tidak langsung, sindiran, implisit). Kedua shighat talak ini
memiliki hukum tersendiri dalam soal terjadinya talak atau tidak.
4.
TALAK SHARIH (LANGSUNG)
Talak sharih adalah ucapan talak secara jelas dan eksplist yang apabila
diucapan pada istri maka jatuhlah talak/perceraian walaupun suami tidak berniat
untuk cerai. Lafadz talak sharih ada 3 (tiga) yaitu:
(a)
Talak atau cerai. Seperti kata suami pada istri: "Aku menceraikanmu."
atau "Kamu dicerai", dsb.
(b)
Pisah (mufaraqah)
(c)
Sarah (pisah)
5.
TALAK KINAYAH(TIDAK LANGSUNG, IMPLISIT)
Yaitu kata yang mengandung nuansa atau makna percraian tapi tidak secara
langsung. Seperti kata suami pada istri "Pulanglah pada orang tuamu!"
Termasuk
talak kinayah adalah talak sharih tapi dibuat secara tertulis atau melalui SMS
(short text message).
6.
HUKUM CERAI/TALAK
Hukum talak/perceraian itu beragam: bisa wajib, sunnah, makruh, haram, mubah.
Rinciannya sbb:
TALAK
ITU WAJIB APABILA:
a)
Jika suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
b)
Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat
untuk perdamaian rumahtangga mereka
c)
Apabila pihak pengadilan berpendapat bahawa talak adalah lebih baik
Jika tidak diceraikan dalam keadaan demikian, maka berdosalah suami.
PERCERAIAN
ITU HARAM APABILA:
a)
Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas
b)
Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
c)
Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada menuntut
harta pusakanya
d)
Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekaligus atau talak satu tetapi
disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih
PERCERAIAN
ITU HUKUMNYA SUNNAH APABILA:
a)
Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya
b)
Isterinya tidak menjaga martabat dirinya
CERAI
HUKUMNYA MAKRUH APABILA:
Suami
menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan mempunyai
pengetahuan agama
CERAI
HUKUMNYA MUBAH APABILA:
Suami
lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah putus
haidnya
7.
RUKUN PERCERAIAN/ TALAK
Ada
2 faktor dalam perceraian yaitu suami dan istri. Masing-masing ada syarat
sahnya perceraian.
Rukun
Talak bagi Suami :
-
Berakal sehat
-
Baligh
-
Dengan kemauan sendiri
Rukun
Talak bagi Isteri :
-
Akad nikah sah
-
Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya
Lafadz/teks
talak:
-
Ucapan yang jelas menyatakan penceraiannya
-
Dengan sengaja dan bukan paksaaan
8.
JENIS PERCERAIAN ADA 2 (DUA)
Ditinjau dari pelaku perceraian, maka perceraian itu ada dua macam yaitu (a)
cerai talak oleh suami kepada istri dan (b) gugat cerai oleh istri kepada
suami.
A.
CERAI TALAK OLEH SUAMI
Yaitu perceraian yang dilakukan oleh suami kepada istri. Ini adalah
perceraian/talak yang paling umum. Status perceraian tipe ini terjadi tanpa
harus menunggu keputusan pengadilan. Begitu suami mengatakan kata-kata talak
pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh dan terjadi. Keputusan Pengadilan
Agama hanyalah formalitas.
Talak atau gugat cerai yang dilakukan oleh suami terdiri dari 4 (empat) macam
sbb:
· Talak raj’i
Yaitu
perceraian di mana suami mengucapkan (melafazkan) talak satu atau talak dua
kepada isterinya. Suami boleh rujuk kembali ke isterinya ketika masih dalam
iddah. Jika waktu iddah telah habis, maka suami tidak dibenarkan merujuk
melainkan dengan akad nikah baru.
· Talak bain
Yaitu
perceraian di mana suami mengucapkan talak tiga atau melafazkan talak yang
ketiga kepada isterinya. Isterinya tidak boleh dirujuk kembali. Si suami hanya
boleh merujuk setelah isterinya menikah dengan lelaki lain, suami barunya
menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis iddah dengan
suami barunya.
· Talak sunni
Yaitu
perceraian di mana suami mengucapkan cerai talak kepada isterinya yang masih
suci dan belum disetubuhinya ketika dalam keadaan suci
· Talak bid’i
Suami
mengucapkan talak kepada isterinya ketika dalam keadaan haid atau ketikasuci
tapi sudah disetubuhi (berhubungan intim).
· Talak taklik
Talak
taklik ialah suami menceraikan isterinya secara bersyarat dengan sesuatu sebab
atau syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka
terjadilah penceraian atau talak.
TAKLIK
TALAK ADA 2 MACAM:
·
Taklik qasami
Taklik
qasami adalah taklik yang dimaksudkan seperti janji karena mengandung
pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau
menguatkan suatu kabar.
· Taklik Syarthi
Taklik
Syarthi yaitu taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak jika telah
terpenuhi syaratnya. Syarat sah taklik yang dimaksud tersebut ialah perkaranya
belum ada, tetapi mungkin terjadi di kemudian hari, hendaknya istri ketika
lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak dan ketika terjadinya perkara yang
ditaklikkan istri berada dalam pemeliharaan suami.
ISI
SIGHAT TAKLIK TALAK:
Bunyi redaksi atau sighat taklik taklak yang diucapkan pengantin pria setelah
ijab kabul di KUA dan termuat dalam buku Akta Nikah adalah sbb:
SIGHAT
TAKLIK TALAK:
بسم الله الرحمن الرحيم
Sesudah akad nikah saya (nama_mempelai_pria) bin (nama_ayah_mempelai_pria)
berjanji dengan sepenuh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai
seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama (nama_mempelai_wanita)
binti (nama_ayah_mempelai wanita) dengan baik (mu'asyarah bilma'ruf) manurut
ajaran syari'at islam.
Selanjutnya
saya membaca sighat taklik atas istri saya sebagai berikut :
Sewaktu-waktu
saya :
1.
Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut,
2.
Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
3.
Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya,
4.
Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya,
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan agama
dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, sebagai
iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu dan
kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jendral Bimas Islam dan Penyelengara
Haji Cq. Direktorat Urusan Agama Islam untuk keperluan ibadah sosial.
HUKUM
UCAPAN TAKLIK TALAK
Mengucapkan talklik talak oleh pengantin pria sesaat setelah ijab kabul
hukumnya tidak wajib. Boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan. Berdasarkan pada
(a)
Fatwa MUI pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/ 7 September 1996 yang menyatakan bahwa:
Pengucapan
sighat ta'liq talaq, yang menurut sejarahnya untuk melindungi hak-hak wanita (
isteri ) yang ketika itu belum ada peraturan perundang-undangan tentang hal
tersebut, sekarang ini pengucapan sighat ta'liq talaq tidak diperlukan lagi.
Untuk pembinaan ke arah pembentukan keluarga bahagia sudah di bentuk BP4 dari
tingkat
pusat sampai dengan tingkat kecamatan.
(b)
KHI Kompilasi Hukum Islam pasal 46 ayat (3)
Perjanjian
taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap
perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak
dapat
dicabut kembali.
B.
GUGAT CERAI OLEH ISTRI
Yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami. Cerai model ini
dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama.
Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara
resmi.
Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu
fasakh dan khulu’:
1.
Fasakh
Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan
istri kepada suami, dalam kondisi di mana:
-
Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
-
Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar
berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
-
uami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah,
baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suamii istri);
atau
-
adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan
tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.
Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak
istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara
keduanya.
2.
Khulu’
Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri
dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu'
disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229
“Rujuk
Dalam Islam”
A.
Pengertian Rujuk
Rujuk menurut bahasa artinya kembali, sedangkan menurut istilah adalah
kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa
iddah sesudah ditalak raj’i. sebagaimana Firman allah dalam surat al-baqarah
:228
“Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka(para suami) itu menghendaki
islah”. (Q.S.Al-Baqarah:228)
Bila
sesorang telah menceraikan istrinya, maka ia dibolehkan bahkan di anjurkan
untuk rujuk kembali dengan syarat keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali
(islah).
Dalam
KHI pasal 63 bahwa Rujuk dapat dilakukan dalam hal:
a.
Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau
talak yang di jatuhkan qabla al dukhul.
b.
Putus perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau
alasan-alasan selain zina dan khuluk.
B.
Pendapat Para Ulama tentang Rujuk
Rujuk adalah salah satu hak bagi laki-laki dalam masa idah. Oleh karena itu ia
tidak berhak membatalkannya, sekalipun suami missal berkata: “Tidak ada Rujuk
bagiku” namun sebenarnya ia tetap mempunyai rujuk. Sebab allah berfirman:
Artinya:
Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa penantian itu”.
(al-Baqarah:228)
Karena rujuk merupakan hak suami, maka untuk merujuknya suami tidak perlu
adanya saksi, dan kerelaan mantan istri dan wali. Namun menghadirkan saksi
dalam rujuk hukumnya sunnah, karena di khawatirkan apabila kelak istri akan
menyangkal rujuknya suami.
Rujuk boleh diucapkan, seperti: “saya rujuk kamu”, dan dengan perbuatan
misalnya: “menyetubuhinya, merangsangnya, seperti menciummnya dan
sentuhan-sentuhan birahi.
Imam Syafi;I berpendapat bahwa rujuk hanya diperbolehkan dengan ucapan terang
dan jelas dimengerti. Tidak boleh rujuk dengan persetubuhan, ciuman, dan
rangsangan-rangsangan nafsu birahi. Menurut Imam Syafi’I bahwa talak itu
memutuskan hubungan perkawinan.
Ibn Hazm berkata: “Dengan menyetubuhinya bukan berarti merujuknya, sebelum kata
rujuk itu di ucapkandan menghadirkan saksi, serta mantan istri diberi tahu
terlebih dahulu sebelum masa iddahnya habis.” Menurut Ibn Hazm jika ia merujuk
tampa saksi bukan disebut rujuk sebab allah berfirman:
Artinya:
“Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujuklah mereka
dengan baik dan lepaskanlah meereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kamu.” (Q.S. At-Thalaq: 2)
C.
Syarat dan Rukun Rujuk
1. Syarat Rujuk
a.
Saksi untuk rujuk
Puqaha berbeda pendapat tentang adanya saksi dalam rujuk, apakah ia menjadi
syarat sahnya rujuk atau tidak. Imam malik berpendapat bahwa saksi dalam rujuk
adalah disunnahkan, sedangkan Imam syafi’I mewajibkan. Perbedaan pendapat ini
disebabkan karena pertentangan antara qiyas dengan zahir nas Al-qur’an yaitu:
.....واشهدوا ذوى عدل منكم...............(الطلاق : 2)
“…….dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil…..”
Ayat
tersebut menunjukan wajibnya mendatangkan saksi. Akan tetapi pengkiasan haq
rujuk dengan hak-hak lain yang diterima oleh seseorang, menghendaki tidak
adanya saksi. Oleh karena itu, penggabungan antara qiayas dengan ayat tersebut
adalah dengan membawa perintah pada ayat tersebut sebagai sunnah.
b.
Belum habis masa idah
c.
Istri tidak di ceraikan dengan talak tiga
d.
Talak itu setelah persetubuhan
Jika
istri yang telah di cerai belum perah di campuri, maka tidak sah untuk rujuk,
tetapi harys dengan perkawinan baru lagi. Firman Allah Swt:
“Hai orang-oran yang beriman, apabila
kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu ceraikan sebelum
kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya maka berikanlah mereka mut’ah dan lepaskanah
mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.
2. Rukun Rujuk :
1)
Suami yang merujuk
Syarat-syarat
suami sah merujuk:
a)
Berakal
b)
Baligh
c)
Dengan kemauan sendiri
d)
Tidak di paksa dan tidak murtad
2)
Ada istri yang di rujuk
Syarat
istri yang di rujuk:
a)
Telah di campuri
b)
Bercerai dengan talak bukan dengan fasakh
c)
Tidak bercerai dengan khuluk
d)
Belum jatuh talak tiga.
e)
Ucapan yang menyatakan untuk rujuk.
3)
Kedua belah pihak (mantan suami dan mantan istri) sama-sama suka, dan yakin
dapat hidup bersama kembali dengan baik. berdasarkan firman Allah Swt:
“Dan suami-suaminya berhak merujuknya
dalam masa menanti itu dan jika mereka (para suami) itu menghendaki islah”.
4)
Dengan pernyataan ijab dan qabul
Syarat
lapadz (ucapan) rujuk:
a)
Lafaz yang menunjukkan maksud rujuk, misalnya kata suami “aku rujuk engkau”
atau “aku kembalikan engkau kepada nikahku”.
b)
Tidak bertaklik — tidak sah rujuk dengan lafaz yang bertaklik, misalnya kata
suami “aku rujuk engkau jika engkau mahu”. Rujuk itu tidak sah walaupun ister
mengatakan mahu.
c)
Tidak terbatas waktu — seperti kata suami “aku rujuk engkau selama sebulan
D.
Hikmah Rujuk
1.
Dapat menyambung semula hubungan suami isteri untuk kepentingan kerukunan numah
tangga
2.
Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
3.
Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
E.
Hukum Rujuk
1.
Wajib apabila Suami yang menceraikan salah seorang isteri-isterinya dan dia
belum menyempurnakan pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu.
2.
Haram Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri
tersebut.
3.
Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
4.
Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
5.
Sunat Sekiranya mendatangkan kebaikan.
F.
Prosedur rujuk
Pasangan mantan suami-istri yang kan melakukan rujuk harus dapat menghadap PPN
(pegawai pencatat nikah) atau kepala kantor urusan agama (KUA) yang mewilayahi
tempat tinggal istri dengan membawa surat keterangan untuk rujuk dari kepala
desa/lurah serta kutipan dari buku pendaftaran talak/cerai atau akta
talak/cerai.
Adapun
prosedurnya adalah sebagaiu berikut:
a.
Di hadapan PPN suami mengikrarkan rujuknya kepada istri disaksikan mimimal dua
orang saksi.
b.
PPN mencatatnya dalam buku pendaftaran rujuk, kemudian membacanya di hadapan
suami-istri tersebut serta saksi-saksi, dan selanjutnya masing-masing
membubuhkan tanda tangan.
c.
PPN membuatkan kutipan buku pendaftaran rujuk rangkap dua dengan nomor dan kode
yang sama.
d.
Kutipan ddiberikan kepada suami-istri yang rujuk.
e.
PPN membuatkan surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan dan mengirimnya ke
pengadilan agama yang mengeluarkan akta talak yang bersangkutan.
f.
Suami-istri dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk datang ke pengadilan
agama tempat terjadinya talak untuk mendapatkan kembali akta nikahnya
masing-masing.
g.
Pengadilan agama memberikan kutipan akta nikah yang bersangkutan dengan menahan
kutipan buku pendaftaran rujuk.