Thursday, 8 December 2016

Pengertian perkawinan menurut Undang-undang No. I Tahun 1974






Pengertian perkawinan menurut Undang-undang No. I Tahun 1974



            Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, memberikan devinisi perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa “ (2002 : 38)
           
Apabila devinisi diatas kita telaah, maka terdapatlah Lima unsur didalamnya:
1.      Ikatan lahir bathin.
2.      Antara seorang Pria seorang wanita.
3.      Sebagai suami-istri.
4.      Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal,
5.      Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Didalam Lima Unsur diatas ini penulis Akan mencoba memberikan penjelasan khusus yaitu unsur pertama dan yang kedua sehingga Akan jelas pemahamannya:
Ad.1.  Ikatan lahir bathin.
            Yang dimaksud dengan ikatan lahir bathin adalah, bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau bathin saja, Akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, dengan kata lain hal itu disebut dengan hubungan formal, hubungan formal ini nyata baik bagi prihal mengikatkan dirinya maupun bagi pihak ketiga, sebaliknya suatu ikatan bathin merupakan hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata yang hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, ikatan bathin ini merupakan dasar ikatan lahir. Ikatan bathin ini yang dapat dijadikan dasar pundasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia.
            Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan Suami- Istri atau calon Suami- Istri dalam kedudukan mereka yang semestinya dan suci seperti yang disejajarkan oleh Agama yang kita anut masing dalam Negara yang berdasarkan Pancasila. Perkawinan bukan hanya menyangkut unsur lahir akan tetapi juga menyangkut unsur bathiniah.


Ad. 2.  Antara seorang pria dan seorang wanita.
            Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita dengan demikian, maka kesimpulan yang dapat ditarik pertama-tama bahwa hubungan perkawinan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi misalnya antara seorang pria dengan seorang pria atau seorang wanita dengan wanita ataupun antara seorang wadam dan wadam lainnya. Disamping itu kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa dalam unsur kedua ini terkandung Asas monogamy.
            Dari penjelasan diatas dapatlah disimpulkan bahwa perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, Akan tetapi juga mempunyai unsur bathin atau rohani mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Pasal 2:
1.      Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu.
2.      Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 :
1.      Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2.      Pengadilan dapat memberikan ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 :
1.           Dalam hal Seorang suami, akan beristri, lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di Daerah tempat tinggalnya.
2.           Pengadilan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan bertistri lebih dari seorang apabila :
a.   Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang Isteri.
b.   Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.   Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 yang berbunyi :
1.      Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua mempelai
2.      Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus lah mendapat ijin kedua orang tuanya.
3.      Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.      Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5.      Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam Daerah hukumnya tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberri ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini.
6.      Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan yang lainya.
Pasal 7 :
1.         Perkawinan hanya dijinkan jika Pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak Wanita sudah mencapai umur 16 tahun
2.         Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat memberikan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat Lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3.         Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak Asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menganut beberapa prinsip dalam perkawinan yaitu:
1.           Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk itu suami-istri perlu saling membantu, melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan material dan spiritual.
2.           Bahwa suatu perkawinan adalah sah bila mana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3.           Undang-undang nomor 1 tahun 1974 menganut asas monogami hanya apabila dikehendaki oleh orang yang bersangkutan karena hukum dan agama dan yang bersangkutan yang mengijinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang meskipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
4.           Bahwa calon Suami-istri harus betul-betul siap jiwa dan raganya untuk dapat melakukan dan melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
5.           Karena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersatukan terjadinya perceraian untuk dapat memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
6.           Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan rumah masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu diputuskan bersama.


Hukum Pernikahan, Talak, Rujuk dalam ISLAM

PERNIKAHAN, TALAK DAN RUJUK DALAM ISLAM



“Pernikahan Dalam Islam”

1. Definisi Pernikahan
          Pernikahan adalah terjemahan yang diambil dari bahasa Arab yaitu nakaha dan zawaja. Kedua kata inilah yang menjadi istilah pokok yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk perkawinan (pernikahan). Istilah atau kata zawaja berarti ‘pasangan’, dan istilah nakaha berarti ‘berhimpun’. Dengan demikian, dari sisi bahasa perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra.

          Nikah menurut syara’ adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya serta membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah.

Adapun beberapa dasar hukum tentang pernikahan adalah sebagai berikut:

§     Al-Qur’an

“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar-Ruum (30):21).

§     As-Sunnah

Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
” Tiga kelompok yang berhak mendapat pertolongan Allah. Mujahid di jalan Allah, budak yang ingin merdeka, orang yang menikah yang ingin menjaga kesucian (dari zina)” (HR at-Turmudzi)


2. Hukum Pernikahan

          Hukum menikah dalam pandangan syariah. Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah, terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan.

          Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.

Pernikahan Yang Wajib Hukumnya

          Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.

          Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :

“Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi.” (QS.An-Nur : 33)





Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya

          Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.

          Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.

          Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.

Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)

          Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.

Pernikahan Yang Haram Hukumnya

          Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.

          Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.

          Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.



Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.

Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.

Pernikahan Yang Makruh Hukumnya

          Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.

          Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.

          Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.


Pernikahan Yang Mubah Hukumnya

          Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.

3. Rukun Pernikahan

          Rukun dalam pernikahan yaitu:

§     Ijab

          yaitu ucapan penyerahan calon mempelai wanita dari walinya atau wakilnya kepada calon mempelai pria untuk dinikahi. Misalnya: “Saya nikahkan kamu dengan Fulanah”.

§     Qabul

          yaitu ucapan penerimaan pernikahan dari calon mempelai pria / walinya.

§     Calon mempelai pria dan wanita

          Calon pengantin harus terbebas dari penghalang-penghalang sahnya nikah, misalnya: wanita tersebut bukan termasuk orang yang diharamkan untuk dinikahi (mahram) baik karena senasab, sepersusuan atau karena sedang dalam masa ‘iddah, atau sebab lain. Juga tidak boleh jika calon mempelai laki-lakinya kafir sedangkan mempelai wanita seorang  muslimah. Dan sebab-sebab lain dari penghalang-penghalang syar’i.

§     Wali dari calon mempelai wanita

          Wali bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh bapaknya, kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang laki-laki kemudian cucu laki-laki dari anak laki-lakinya terus ke bawah, lalu saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak, kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya yang sekandung dengan bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya, kemudian anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya seperti ahli waris, kemudian orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang budak), kemudian baru hakim sebagai walinya

          Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam:

“Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR. Imam).
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak sah. Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal dalam berfikir untuk memilih sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an tentang masalah pernikahan, ditujukan kepada para wali:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu” (QS. An-Nuur: 32)

“Maka janganlah kamu(para wali) menghalangi mereka” (QS. Al-Baqoroh: 232)
Dua orang saksi (laki-laki)

Sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir:
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil (baik agamanya).” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah)


4. Sunnah Pernikahan

§     Do’a dan ucapan selamat untuk pengantin
Disunnahkan bagi setiap muslim untuk memberikanucapan selamat dan do’a kepada pengantin. Sebagaimana hadistRasulullah SAW. dari Abu Hurairah r.a. ia berkata “Jika Nabi,SAW. memberikan ucapan selamat kepada mempelai, beliauSAW. mengucapkan:

“Barakallahu laka wabaaraka ‘alaika wajama’a baynakuma fii khair”.
“Semoga Allah mencurahkan kepadamu dan istrimu. Semoga Allah menyatukan kamu berdua dalam segala kebaikan.” (HR. Bukhari, Muslim).

§     Mengucapkan Salam ketika hendak masuk ke tempat isteri dengan mendahulukan kaki kanan

Rasulullah SAW. bersabda kepada shahabat Anas binMalik r.a.
“Wahai anakku, jika engkau masuk ke tempat isterimu, hendaknya engkau mengucapkan salam kepadanya,agar menjadikan keberkahan bagimu dan bagi penghunirumahmu.” (H.R. At-Tirmidzi).

§     Do’a ketika mengusap dan meletakkan tangan pada ubun-ubun isteri

Disunnahkan pula untuk mengusap dan meletakkan tanganpada ubun-ubun isteri seraya membaca basmallah dankemudian berdo’a memohon keberkahan:

“Allahumma inni astaluka wakhairiha jabaltaha ‘alaihi wa a’udzubika min syarrihha wamin syarrimma jabaltaha ‘alaihi”.

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikandan kebaikan yang telah Engkau ciptakan padanya dan akuberlindung kepada-Mu dari kejahatan dan kejahatan yang Engkau ciptakan padanya”.

§     Shalat sunnah setelah akad nikah

§     Tinggal seminggu di rumah mempelai wanita

5. Tujuan Pernikahan

Tujuan dari pernikahan:
§     Ittiba’(mengikuti) Sunnah Rasul
§     Melaksanakan ibadah
§     Untuk preventif terhadap zina
§     Melestarikan keturunan suci (kesinambungan eksistensi manusia)
§     Membangun sifat kasih sayang sejati
§     Mewujudkan sifat ta’awun (tanggung jawab/tolong-menolong)
§     Memperkokoh silaturahmi baik internal keluarga maupun eksternal masyarakat.

6. Hak & Kewajiban Suami kepada Istri

§     Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (At-aubah: 24)
§     Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya. (At-Taghabun: 14)
§     Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan: 74)

§     Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali)

§     Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah.

§     Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)

§     Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(Ath-Thalaq: 7)

§     Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)

§     Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi, Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri)

§     Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la)

§     Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)

§     Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah sendiri. (Abu Dawud).

§     Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih)

§     Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)

§     Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)

§     Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)

§     Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)

§     Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada istrinya. (AI-Baqarah: 40)

       Istri kepada Suami


§     Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)

§     Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada istri. (Al-Baqarah: 228)

§     Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39)

§     Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah: a. Menyerahkan dirinya, b. Mentaati suami, c. Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya, d. Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami, e. Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)

§     Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)

§     Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami meridhainya. (Muslim)

§     Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi)

§     Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, Tirmidzi)

§     Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: “Seandainya dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada suaminya. .. (Timidzi)

§     Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)

§     Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami(Thabrani)

§     Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)

§     Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta (3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)

§     Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)

§     Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya. (An-Nur: 30-31)

7. Wanita Yang Haram Dinikahi

Larangan menikah untuk selamanya (muabbad)
         
Dibagi menjadi beberapa:

1. Larangan karena ada hubungan nasab ( qoroobah )
Yaitu:
§      I b u
§     Anak perempuan
§     Saudara perempuan
§     Bibi dari fihak ayah ( ‘Aammah )
§     Bibi dari fihak ibu ( khoolah )
§    Anak perempuan dari saudara laki-laki ( keponakan )
§    Anak perempuan dari saudara perempuan ( keponakan )

2. Larangan karena ada hubungan perkawinan ( mushooharoh )

Yaitu:
§  Ibu dari istri ( mertua )
§  Anak perempuan dari istri yang sudah digauli atau anak tiri, termasuk anak-anak mereka kebawah
§  Istri anak ( menantu ) atau istri cucu dan seterusnya
§  Istri ayah ( ibu tiri )


3. Larangan karena hubungan susuan
§    Ibu dari wanita yang menyusui
§    Wanita yang menyusui
§    Ibu dari suami wanita yang menyusui
§    Saudara wanita dari wanita yang menyusui
§    Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui
§    Anak dan cucu wanita dari wanita yang menyusui
§    Saudara wanita, baik saudara kandung, seayah atau seibu

Larangan menikah untuk sementara (muaqqot)

1. Menggabungkan untuk menikahi dua wanita yang bersaudara
2. Menggabungkan untuk menikahi seorang wanita dan bibinya
3. Menikahi lebih dari empat wanita
4. Wanita musyrik
5. Wanita yang bersuami
6. Wanita yang masih dalam masa ‘iddah
7. Wanita yang ia thalak tiga

Pernikahan yang terlarang
1. Nikah dengan niat untuk men-thalaqnya.
2. Nikah Tahlil, yaitu nikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah diceraikan suaminya tiga kali, dengan niat untuk menceraikannya kembali agar dapat dinikahi oleh mantan suaminya.
3. Nikah dengan bekas istri yang telah dithalak tiga.
4. Nikahnya seorang yang sedang ber-Ihrom.
5. Nikahnya seorang yang dalam masa ‘iddah.
6. Nikahnya seorang muslim dengan orang kafir.


“Talak dan Gugat Cerai

dalam Islam”

1. DEFINISI CERAI TALAK
          Dalam syariah cerai atau talak adalah melepaskan ikatan perkawinan (Arab, اسم لحلقيد النكاح) atau putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.

2. DALIL DASAR HUKUM PERCERAIAN TALAK

- QS Al-Baqarah 2:229

الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّلَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَاحُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَاافْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِفَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.

- QS At-Talaq 65:1-7

أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَوَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلاَّ أَنيَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِفَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لاَ تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا*

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍوَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِمَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُمَخْرَجًا*

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُإِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا*

وَاللاَّئِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللاَّئِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنيَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا*

ذَلِكَ أَمْرُ اللَّهِ أَنزَلَهُ إِلَيْكُمْ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِوَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا*

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواعَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّفَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِنتَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى*

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُاللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(ayat 1)

          Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.(ayat 2)

          Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.(ayat 3)


          Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (ayat 4)
          Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. (ayat 5)

          Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(ayat 6)

          Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(ayat 7)

 3. SHIGHAT (UCAPAN) CERAI TALAK ADA DUA

          Ditinjau dari segi shighat, lafadz, ucapan cerai talak dari seorang suami pada istri, talak ada dua macam yaitu talak sharih (langsung, jelas, eksplisit) dan talak kinayah (tidak langsung, sindiran, implisit). Kedua shighat talak ini memiliki hukum tersendiri dalam soal terjadinya talak atau tidak.

4. TALAK SHARIH (LANGSUNG)

          Talak sharih adalah ucapan talak secara jelas dan eksplist yang apabila diucapan pada istri maka jatuhlah talak/perceraian walaupun suami tidak berniat untuk cerai. Lafadz talak sharih ada 3 (tiga) yaitu:
(a) Talak atau cerai. Seperti kata suami pada istri: "Aku menceraikanmu." atau "Kamu dicerai", dsb.
(b) Pisah (mufaraqah)
(c) Sarah (pisah)

5. TALAK KINAYAH(TIDAK LANGSUNG, IMPLISIT)

          Yaitu kata yang mengandung nuansa atau makna percraian tapi tidak secara langsung. Seperti kata suami pada istri "Pulanglah pada orang tuamu!"
Termasuk talak kinayah adalah talak sharih tapi dibuat secara tertulis atau melalui SMS (short text message).

6. HUKUM CERAI/TALAK

          Hukum talak/perceraian itu beragam: bisa wajib, sunnah, makruh, haram, mubah. Rinciannya sbb:

TALAK ITU WAJIB APABILA:

a) Jika suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
b) Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat untuk perdamaian rumahtangga mereka
c) Apabila pihak pengadilan berpendapat bahawa talak adalah lebih baik
          Jika tidak diceraikan dalam keadaan demikian, maka berdosalah suami.

PERCERAIAN ITU HARAM APABILA:

a) Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas
b) Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
c) Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada menuntut harta pusakanya
d) Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekaligus atau talak satu tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih

PERCERAIAN ITU HUKUMNYA SUNNAH APABILA:
a) Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya
b) Isterinya tidak menjaga martabat dirinya

CERAI HUKUMNYA MAKRUH APABILA:
Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan mempunyai pengetahuan agama

CERAI HUKUMNYA MUBAH APABILA:
Suami lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah putus haidnya

7. RUKUN PERCERAIAN/ TALAK

Ada 2 faktor dalam perceraian yaitu suami dan istri. Masing-masing ada syarat sahnya perceraian.
Rukun Talak bagi Suami :
- Berakal sehat
- Baligh
- Dengan kemauan sendiri

Rukun Talak bagi Isteri :
- Akad nikah sah
- Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya

Lafadz/teks talak:
- Ucapan yang jelas menyatakan penceraiannya
- Dengan sengaja dan bukan paksaaan

8. JENIS PERCERAIAN ADA 2 (DUA)

          Ditinjau dari pelaku perceraian, maka perceraian itu ada dua macam yaitu (a) cerai talak oleh suami kepada istri dan (b) gugat cerai oleh istri kepada suami.

A. CERAI TALAK OLEH SUAMI

          Yaitu perceraian yang dilakukan oleh suami kepada istri. Ini adalah perceraian/talak yang paling umum. Status perceraian tipe ini terjadi tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Begitu suami mengatakan kata-kata talak pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh dan terjadi. Keputusan Pengadilan Agama hanyalah formalitas.

          Talak atau gugat cerai yang dilakukan oleh suami terdiri dari 4 (empat) macam sbb:
·         Talak raj’i

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan (melafazkan) talak satu atau talak dua kepada isterinya. Suami boleh rujuk kembali ke isterinya ketika masih dalam iddah. Jika waktu iddah telah habis, maka suami tidak dibenarkan merujuk melainkan dengan akad nikah baru.

·         Talak bain

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan talak tiga atau melafazkan talak yang ketiga kepada isterinya. Isterinya tidak boleh dirujuk kembali. Si suami hanya boleh merujuk setelah isterinya menikah dengan lelaki lain, suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis iddah dengan suami barunya.

·         Talak sunni

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan cerai talak kepada isterinya yang masih suci dan belum disetubuhinya ketika dalam keadaan suci

·         Talak bid’i

Suami mengucapkan talak kepada isterinya ketika dalam keadaan haid atau ketikasuci tapi sudah disetubuhi (berhubungan intim).

·         Talak taklik

Talak taklik ialah suami menceraikan isterinya secara bersyarat dengan sesuatu sebab atau syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka terjadilah penceraian atau talak.


TAKLIK TALAK ADA 2 MACAM:
·     
    Taklik qasami

Taklik qasami adalah taklik yang dimaksudkan seperti janji karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar.

·         Taklik Syarthi

Taklik Syarthi yaitu taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak jika telah terpenuhi syaratnya. Syarat sah taklik yang dimaksud tersebut ialah perkaranya belum ada, tetapi mungkin terjadi di kemudian hari, hendaknya istri ketika lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak dan ketika terjadinya perkara yang ditaklikkan istri berada dalam pemeliharaan suami.

ISI SIGHAT TAKLIK TALAK:

          Bunyi redaksi atau sighat taklik taklak yang diucapkan pengantin pria setelah ijab kabul di KUA dan termuat dalam buku Akta Nikah adalah sbb:

SIGHAT TAKLIK TALAK:
بسم الله الرحمن الرحيم

          Sesudah akad nikah saya (nama_mempelai_pria) bin (nama_ayah_mempelai_pria) berjanji dengan sepenuh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama (nama_mempelai_wanita) binti (nama_ayah_mempelai wanita) dengan baik (mu'asyarah bilma'ruf) manurut ajaran syari'at islam.

Selanjutnya saya membaca sighat taklik atas istri saya sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :
1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut,
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya,
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya,

          Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.

          Kepada Pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jendral Bimas Islam dan Penyelengara Haji Cq. Direktorat Urusan Agama Islam untuk keperluan ibadah sosial.

HUKUM UCAPAN TAKLIK TALAK

         Mengucapkan talklik talak oleh pengantin pria sesaat setelah ijab kabul hukumnya tidak wajib. Boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan. Berdasarkan pada
(a) Fatwa MUI pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/ 7 September 1996 yang menyatakan bahwa:
Pengucapan sighat ta'liq talaq, yang menurut sejarahnya untuk melindungi hak-hak wanita ( isteri ) yang ketika itu belum ada peraturan perundang-undangan tentang hal tersebut, sekarang ini pengucapan sighat ta'liq talaq tidak diperlukan lagi. Untuk pembinaan ke arah pembentukan keluarga bahagia sudah di bentuk BP4 dari

tingkat pusat sampai dengan tingkat kecamatan.
(b) KHI Kompilasi Hukum Islam pasal 46 ayat (3)
Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak
dapat dicabut kembali.

B. GUGAT CERAI OLEH ISTRI

          Yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami. Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi.
          Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu fasakh dan khulu’:

1. Fasakh

          Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:
- Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
- Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
- uami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suamii istri); atau
- adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.

          Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.

2. Khulu’
          Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu' disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229




“Rujuk Dalam Islam”

A. Pengertian Rujuk
          Rujuk menurut bahasa artinya kembali, sedangkan menurut istilah adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raj’i. sebagaimana Firman allah dalam surat al-baqarah :228
 Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka(para suami) itu menghendaki islah”. (Q.S.Al-Baqarah:228)
Bila sesorang telah menceraikan istrinya, maka ia dibolehkan bahkan di anjurkan untuk rujuk kembali dengan syarat keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali (islah).

Dalam KHI pasal 63 bahwa Rujuk dapat dilakukan dalam hal:
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang di jatuhkan qabla al dukhul.
b. Putus perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.


B. Pendapat Para Ulama tentang Rujuk

          Rujuk adalah salah satu hak bagi laki-laki dalam masa idah. Oleh karena itu ia tidak berhak membatalkannya, sekalipun suami missal berkata: “Tidak ada Rujuk bagiku” namun sebenarnya ia tetap mempunyai rujuk. Sebab allah berfirman:
Artinya: Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa penantian itu”. (al-Baqarah:228)

          Karena rujuk merupakan hak suami, maka untuk merujuknya suami tidak perlu adanya saksi, dan kerelaan mantan istri dan wali. Namun menghadirkan saksi dalam rujuk hukumnya sunnah, karena di khawatirkan apabila kelak istri akan menyangkal rujuknya suami.

          Rujuk boleh diucapkan, seperti: “saya rujuk kamu”, dan dengan perbuatan misalnya: “menyetubuhinya, merangsangnya, seperti menciummnya dan sentuhan-sentuhan birahi.

          Imam Syafi;I berpendapat bahwa rujuk hanya diperbolehkan dengan ucapan terang dan jelas dimengerti. Tidak boleh rujuk dengan persetubuhan, ciuman, dan rangsangan-rangsangan nafsu birahi. Menurut Imam Syafi’I bahwa talak itu memutuskan hubungan perkawinan.

          Ibn Hazm berkata: “Dengan menyetubuhinya bukan berarti merujuknya, sebelum kata rujuk itu di ucapkandan menghadirkan saksi, serta mantan istri diberi tahu terlebih dahulu sebelum masa iddahnya habis.” Menurut Ibn Hazm jika ia merujuk tampa saksi bukan disebut rujuk sebab allah berfirman:

Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik dan lepaskanlah meereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (Q.S. At-Thalaq: 2)



C. Syarat dan Rukun Rujuk
          1. Syarat Rujuk

a. Saksi untuk rujuk
          Puqaha berbeda pendapat tentang adanya saksi dalam rujuk, apakah ia menjadi syarat sahnya rujuk atau tidak. Imam malik berpendapat bahwa saksi dalam rujuk adalah disunnahkan, sedangkan Imam syafi’I mewajibkan. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena pertentangan antara qiyas dengan zahir nas Al-qur’an yaitu:
.....واشهدوا ذوى عدل منكم...............(الطلاق : 2)
“…….dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil…..”
Ayat tersebut menunjukan wajibnya mendatangkan saksi. Akan tetapi pengkiasan haq rujuk dengan hak-hak lain yang diterima oleh seseorang, menghendaki tidak adanya saksi. Oleh karena itu, penggabungan antara qiayas dengan ayat tersebut adalah dengan membawa perintah pada ayat tersebut sebagai sunnah.
b. Belum habis masa idah
c. Istri tidak di ceraikan dengan talak tiga
d. Talak itu setelah persetubuhan
Jika istri yang telah di cerai belum perah di campuri, maka tidak sah untuk rujuk, tetapi harys dengan perkawinan baru lagi. Firman Allah Swt:
 Hai orang-oran yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu ceraikan sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya maka berikanlah mereka mut’ah dan lepaskanah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.

        2. Rukun Rujuk :
1) Suami yang merujuk
Syarat-syarat suami sah merujuk:
a) Berakal
b) Baligh
c) Dengan kemauan sendiri
d) Tidak di paksa dan tidak murtad

2) Ada istri yang di rujuk
Syarat istri yang di rujuk:
a) Telah di campuri
b) Bercerai dengan talak bukan dengan fasakh
c) Tidak bercerai dengan khuluk
d) Belum jatuh talak tiga.
e) Ucapan yang menyatakan untuk rujuk.

3) Kedua belah pihak (mantan suami dan mantan istri) sama-sama suka, dan yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik. berdasarkan firman Allah Swt:
 Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu dan jika mereka (para suami) itu menghendaki islah”.

4) Dengan pernyataan ijab dan qabul
Syarat lapadz (ucapan) rujuk:
a) Lafaz yang menunjukkan maksud rujuk, misalnya kata suami “aku rujuk engkau” atau “aku kembalikan engkau kepada nikahku”.
b) Tidak bertaklik — tidak sah rujuk dengan lafaz yang bertaklik, misalnya kata suami “aku rujuk engkau jika engkau mahu”. Rujuk itu tidak sah walaupun ister mengatakan mahu.
c) Tidak terbatas waktu — seperti kata suami “aku rujuk engkau selama sebulan

D. Hikmah Rujuk
1. Dapat menyambung semula hubungan suami isteri untuk kepentingan kerukunan numah tangga
2. Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
3. Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.

E. Hukum Rujuk
1. Wajib apabila Suami yang menceraikan salah seorang isteri-isterinya dan dia belum menyempurnakan pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu.
2. Haram Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri tersebut.
3. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
4. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
5. Sunat Sekiranya mendatangkan kebaikan.

F. Prosedur rujuk
          Pasangan mantan suami-istri yang kan melakukan rujuk harus dapat menghadap PPN (pegawai pencatat nikah) atau kepala kantor urusan agama (KUA) yang mewilayahi tempat tinggal istri dengan membawa surat keterangan untuk rujuk dari kepala desa/lurah serta kutipan dari buku pendaftaran talak/cerai atau akta talak/cerai.

Adapun prosedurnya adalah sebagaiu berikut:
a. Di hadapan PPN suami mengikrarkan rujuknya kepada istri disaksikan mimimal dua orang saksi.
b. PPN mencatatnya dalam buku pendaftaran rujuk, kemudian membacanya di hadapan suami-istri tersebut serta saksi-saksi, dan selanjutnya masing-masing membubuhkan tanda tangan.
c. PPN membuatkan kutipan buku pendaftaran rujuk rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama.
d. Kutipan ddiberikan kepada suami-istri yang rujuk.
e. PPN membuatkan surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan dan mengirimnya ke pengadilan agama yang mengeluarkan akta talak yang bersangkutan.
f. Suami-istri dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk datang ke pengadilan agama tempat terjadinya talak untuk mendapatkan kembali akta nikahnya masing-masing.
g. Pengadilan agama memberikan kutipan akta nikah yang bersangkutan dengan menahan kutipan buku pendaftaran rujuk.