Pengertian perkawinan menurut Undang-undang No. I Tahun 1974
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, memberikan devinisi perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa “ (2002 : 38)
Apabila devinisi diatas kita telaah, maka terdapatlah Lima unsur didalamnya:
1. Ikatan lahir bathin.
2. Antara seorang Pria seorang wanita.
3. Sebagai suami-istri.
4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal,
5. Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Didalam Lima Unsur diatas ini penulis Akan mencoba memberikan penjelasan khusus yaitu unsur pertama dan yang kedua sehingga Akan jelas pemahamannya:
Ad.1. Ikatan lahir bathin.
Yang dimaksud dengan ikatan lahir bathin adalah, bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau bathin saja, Akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, dengan kata lain hal itu disebut dengan hubungan formal, hubungan formal ini nyata baik bagi prihal mengikatkan dirinya maupun bagi pihak ketiga, sebaliknya suatu ikatan bathin merupakan hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata yang hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, ikatan bathin ini merupakan dasar ikatan lahir. Ikatan bathin ini yang dapat dijadikan dasar pundasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia.
Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan Suami- Istri atau calon Suami- Istri dalam kedudukan mereka yang semestinya dan suci seperti yang disejajarkan oleh Agama yang kita anut masing dalam Negara yang berdasarkan Pancasila. Perkawinan bukan hanya menyangkut unsur lahir akan tetapi juga menyangkut unsur bathiniah.
Ad. 2. Antara seorang pria dan seorang wanita.
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita dengan demikian, maka kesimpulan yang dapat ditarik pertama-tama bahwa hubungan perkawinan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi misalnya antara seorang pria dengan seorang pria atau seorang wanita dengan wanita ataupun antara seorang wadam dan wadam lainnya. Disamping itu kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa dalam unsur kedua ini terkandung Asas monogamy.
Dari penjelasan diatas dapatlah disimpulkan bahwa perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, Akan tetapi juga mempunyai unsur bathin atau rohani mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Pasal 2:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 :
1. Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberikan ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 :
1. Dalam hal Seorang suami, akan beristri, lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di Daerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan bertistri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang Isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 yang berbunyi :
1. Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus lah mendapat ijin kedua orang tuanya.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam Daerah hukumnya tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberri ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan yang lainya.
Pasal 7 :
1. Perkawinan hanya dijinkan jika Pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak Wanita sudah mencapai umur 16 tahun
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat memberikan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat Lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak Asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menganut beberapa prinsip dalam perkawinan yaitu:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk itu suami-istri perlu saling membantu, melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan material dan spiritual.
2. Bahwa suatu perkawinan adalah sah bila mana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 menganut asas monogami hanya apabila dikehendaki oleh orang yang bersangkutan karena hukum dan agama dan yang bersangkutan yang mengijinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang meskipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
4. Bahwa calon Suami-istri harus betul-betul siap jiwa dan raganya untuk dapat melakukan dan melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
5. Karena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersatukan terjadinya perceraian untuk dapat memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan rumah masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu diputuskan bersama.
No comments:
Post a Comment